Beranda | Artikel
Di antara Hikmah Puasa Ramadhan
Senin, 18 April 2022

Edisi 1835

Ramadhan demi ramadhan kita lalui. Berapa kali bulan ramadhan yang pernah kita lewati? Dan alhamdulillah Allah Ta’ala masih memberikan kita kesempatan lagi menjalani hari-hari di bulan Ramadhan. Di antara hal yang bisa menjadi sebab seseorang bersungguh-sungguh dalam memaksimalkan ibadah di bulan ini adalah dengan kembali mengingat apa hikmah dari puasa itu sendiri.

 

Saat kata ‘taqwa’ hanya didengar tanpa dipahami

Setiap bulan Ramadhan datang mungkin kita selalu mendengarkan sebuah ayat yang sangat familiar di telinga kita, bahwa Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya),

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Q.S. Al Baqarah: 183).
Sudah sekian kali ayat tersebut kita dengar, bahwa Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk berpuasa adalah supaya kita menjadi orang-orang yang bertakwa. Masih ingatkah apa itu makna takwa?  Banyak ulama yang mendefinikan apa makna takwa. Di antaranya adalah apa yang disampaikan oleh Thalq bin habib rahimahullaah, “Takwa adalah menjalankan perintah-perintah Allah subhanahu wa Ta’ala di atas cahaya-Nya (ilmu) dengan mengharap pahala-Nya serta meninggalkan maksiat di atas cahaya Allah subhanahu wa ta’ala karena takut akan siksa-Nya” (Jami’ul ‘uluum wal hikam, hal. 380).

Tidak dikatakan orang yang bertakwa apabila seseorang melakukan suatu amalan yang disyariatkan dalam Islam namun dia lakukan karena ikut kebiasaan orang lain dan tidak diniatkan untuk melaksanakan perintah-Nya. Begitu pula sebaliknya, tidak dikatakan orang yang bertakwa jika dia meninggalkan maksiat karena terpaksa dengan keadaan tanpa ada niat untuk meninggalkan larangan Allah Ta’ala. Sehingga saat kita berpuasa sudah seharusnya kita sadari dan kita niatkan puasa yang kita lakukan adalah sebagai bentuk ketaatan kita terhadap perintah Allah Ta’ala serta mengharapkan pahala-Nya supaya kita termasuk orang-orang yang bertakwa sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang sama dengan ayat perintah puasa di atas.

 

Puasa: meninggalkan apa yang Allah Ta’ala haramkan

  Di dalam ibadah puasa, terkandung di dalamnya perkara-perkara besar yang menjadi sebab seseorang menjadi orang yang bertakwa. Saat sedang berpuasa, kita dilarang untuk makan, minum, melakukan hubungan suami istri, dan yang semisalnya. Padahal hal tersebut adalah perkara yang sangat disenangi manusia pada umumnya. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya.  Hal ini termasuk dari takwa. (Taisir al-Karimir Rahman, hal. 86).

Seseorang yang meninggalkan sesuatu karena Allah Ta’ala, maka pasti Allah Ta’ala akan ganti dengan yang lebih baik. Seseorang yang menahan tidak makan, minum, berhubungan suami istri dan yang semisalnya saat sedang puasa karena Allah Ta’ala, maka Allah akan balas dengan balasan yang jauh lebih besar.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya tidaklah Engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah, kecuali Allah pasti akan memberikan sesuatu (sebagai pengganti yang lebih baik darinya.” (H.R. Ahmad no. 20739. Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.)
  Dalam hadis yang lainnya disebutkan, “Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Balasan bagi orang yang berpuasa adalah kebahagiaan saat bertemu dengan Allah Ta’ala. Ini adalah kebahagiaan yang sangat besar di akhirat nanti saat seorang hamba menghadap Rabbnya.

Puasa: melatih jiwa untuk merasakan pengawasan Allah ta’ala

Orang yang berpuasa dilatih jiwanya untuk senantiasa merasakan pengawasan Allah Ta’ala. Secara kemampuan, sebenarnya orang tersebut bisa memilih untuk melakukan  apa yang diinginkan jiwanya semisal makan, minum, berhubungan suami istri atau yang semisalnya. Dia mampu melakukannya tanpa diketahui orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi. Namun dengan puasa yang benar, dia tetap akan menahan dirinya untuk makan, minum, berhubungan suami istri atau yang semisalnya karena ia sadari Allah Ta’ala selalu mengetahui apa yang dilakukan hamba-Nya. (Taisir al-Karimir Rahman, hal. 86).

Senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala atau disebut muraqabah merupakan amalan hati yang Allah Ta’ala perintahkan kepada hamba-Nya. Di antara perintah muraqabah adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr:18).

Dari ayat di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa takwa sangatlah berhubungan dengan muraqabah. Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala perintahkan hamba untuk bertakwa, dan di akhir ayat ditutup dengan penjelasan bahwa Allah Maha mengetahui apa yang hamba kerjakan. Konsekuensi dari seseorang yang mengimani bahwa Allah mengetahui apa yang dikerjakan setiap hamba adalah dia senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, merasakan  pengawasan Allah Ta’ala merupakan sebab ketakwaan.

 

Puasa : menyempitkan jalan setan

Puasa akan menyempitkan jalan setan karena setan itu berjalan pada anak Adam melalui peredaran/aliran darah. Puasa juga akan melemahkan jalannya sehingga mengecilkan perbuatan maksiat. (Taisir al-Karimir Rahman, hal. 86).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah. Aku khawatir sekiranya setan itu menyusupkan kejelekan dalam hati kalian berdua.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2175).
Allah Ta’ala menyempitkan aliran darah bagi orang yang berpuasa.  Aliran darah merupakan jalurnya setan karena setan itu menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah. Puasa menyempitkan jalan tersebut sehingga setan terhalang untuk menggoda. Hal ini didapatkan bagi orang yang berpuasa dengan benar dan ikhlas. (Syarh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz  li kitabi Wazhoif Ramadhan, hal. 67).

 

Puasa: peluang melakukan banyak ketaatan

Orang yang berpuasa pada umumnya melakukan berbagai macam ketaatan, seperti memperbanyak membaca Al Qur’an, bersedekah, shalat sunnah dan lain sebagainya. Amalan ketaatan kepada Allah Ta’ala termasuk perangai takwa (Taisir al-Karimir Rahman, hal. 86).

 

Puasa: melembutkan hati

Orang yang berpuasa akan merasakan tidak nyamannya ketika perut lapar, tidak enaknya ketika haus, dan beratnya tidak bisa berhubungan suami istri. Ketika seseorang merasakan hal seperti itu, semestinya hatinya semakin peka dan lembut terhadap keadaan orang lain yang keadaanya di bawahnya. Hatinya akan tergerak untuk memberikan kelapangan kepada orang-orang fakir miskin. Dia juga akan semakin mensyukuri nikmat dari Allah Ta’ala akan nikmat-nikmat yang selama ini Allah Ta’ala berikan kepadanya. Ini pun termasuk perangai takwa (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 86).

 

Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa.

 

Ditulis : Pridiyanto, S.Farm., Apt. (Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)

Dirmurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

 


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/di-antara-hikmah-puasa-ramadhan/